Selasa, 05 Juli 2011

Sosiologi Hukum

Hukum dari Penguasa, oleh Penguasa, dan untuk Penguasa
 “Studi Kasus : Penanganan Kasus Hukum Soeharto sang Mantan Penguasa

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada masa kejayaannya, mantan Presiden Indonesia Soeharto banyak berjasa melakukan perubahan dan pembangunan untuk kemajuan Indonesia. Soeharto banyak melakukan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, serta pada masa itu Indonesia dapat melakukan swasembada beras. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mengubah diri dari negara terbesar dalam mengimpor beras, akhirnya menjadi negara berswasembada beras. Masih di masa pemerintahannya, Indonesia memiliki prospek yang sangat baik, dan memiliki peran penting dalam dunia internasional terutama dalam menjaga kawasan baik di Asia Tenggara dan benua Asia, serta masa depan Indonesia yang dianggap sebagai macan Asia.  Namun prestasi dan keberhasilan Soeharto ternyata meninggalkan catatan buruk saat ia memimpin Negara ini, apalagi ketika ia berhasil dilengserkan oleh masyarakat Indonesia khususnya oleh aktivis dan mahasiswa semakin banyak terlihat kasus hukum yang menyeret nama mantan orang nomor 1 di negeri ini. 
Aspek Hukum tidak dapat dipisahkan dari keadilan masyarakat, hukum seharusnya diciptakan agar bermanfaat terhadap masyarakat, supaya mencapai tujuannya yaitu hidup yang tertib dan teratur. Sehingga hukum bukanlah hanya sekedar dari penguasa, oleh penguasa dan untuk penguasa. Kami berpendapat bila hukum seperti ini maka akan menghasilkan berbagai macam praktek penyimpangan dalam penanganan berbagai masalah hukum. Dalam hal ini kami mengambil contoh penanganan kasus hukum Soeharto yang cenderung tidak tuntas sehingga mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan dan aparat-aparat hukum menurun. Sederhananya, hukum adalah peraturan yang dibuat oleh negara dan untuk diberlakukannya sebuah produk hukum maka harus didukung dengan kekuasaan dan paksaan dari alat-alat negara seperti polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Ciri khas dari hukum adalah dengan adanya paksaan yang berasal dari luar yaitu para aparat pemerintah. Pada masa kepemimpinan Soeharto, dapat kita lihat bahwa ia secara langsung maupun tidak langsung turut andil dalam penciptaan sebuah produk hukum. Maka dapat dimungkinkan hukum yang hadir dari masa pemerintahannya akan berupaya untuk melindungi kepentingannya, baik sebagai rakyat indonesia maupun sebagai presiden pada saat itu
Lahirnya Orde Baru pada pertengahan tahun1960-an, yang akhirnya mengantar Soeharto ke kursi Presiden dan tampuk kekuasaan, juga dimulai dengan keinginan yang bernyala-nyala untuk melihat kehadiran supremasi hukum.[1] Permasalahan lain yang berkaitan dengan hukum adalah penyelesaian masalah yang berkait dengan para akademisi tidak jelas. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pengingkaran terhadap pasal 24 UUD 1945 yang mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan bebas dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif), namun yang terjadi adalah pelaksanaan sidang sesuai dengan keinginan pemerintah. Pengingkaran ini terjadi karena para penguasa kehakiman adalah kroni dari eksekutif. Dengan demikian, rakyat jelata yang merupakan warga negara tidak dapat menikmati keadilan hukum dan masyarakat menjadi korban penindasan penguasa. Awal reformasi yang ditandai lengsernya pemerintahan Soeharto melahirkan harapan bagi masyarakat akan supremasi hukum, selama pemerintahan Orde baru berkuasa sistem hukum sangat dikendalikan oleh pemerintahan saat itu.
Pada masa pemerintahan Soeharto, hukum tidak lagi memiliki kekuatan dalam masyarakat. Supremasi hukum telah digantikan dengan kepentingan penguasa. Diperlakukannya prinsip peradilan dengan menggunakan asas oportunitas telah membuat sebagian besar pemimpin negara yang melakukan proses persidangan dapat divonis bebas karena kedudukan politis. Beberapa hal lain jika sidang yang berkaitan dengan masalah pemimpin negara pasti sidang tidak akan dibuka untuk umum. Masyarakat hanya memahami lewat sosialisasi di koran dan media massa lain. Fenomena ini semakin meyakinkan masyarakat bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diperlakukan sama. Artinya, terjadi pengingkaran terhadap equality before the law, sehingga jelas hal ini merupakan pelanggaran HAM serius.[2]
Menurut Prof. DR. Moh. Mahfud, MD, ada lima ciri dasar dari hukum Orde Baru. Pertama, semua hukum berasal dari lembaga negara dan eksekutif. Pada zaman pemerintahan Soeharto tidak satu pun produk hukum yang lahir dari inisiatif DPR dan tak satu pun produk hukum yang lolos kalau presiden Soeharto tidak setuju serta tidak satu pun produk hukum yang tidak lolos kalau presiden Soeharto menginginkannya. Kedua, materi hukum selalu bersifat positivistic instrumentalistic, dalam arti menggambarkan apa yang dikehendaki oleh penguasa, bukan menggambarkan apa yang dikehendaki masyarakat. Ketiga, hukum yang dibuat Orde Baru adalah hukum yang bersifat open interpretative, artinya terbuka untuk ditafsirkan, tetapi tafsir yang dianggap benar adalah tafsir yang dibuat penguasa. Keempat, hukum yang bersifat ortodoks, yakni lebih mengutamakan program dan kebijakan di atas aturan resmi. Jika aturan hukum bertentangan dengan program pemerintah, maka aturannya yang dilanggar. Itu banyak sekali yang terjadi dalam hukum agraria menyangkut pembebasan tanah. Kelima, di dalam aturan hukum ortodoks, penegakan hukum mengutamakan perlindungan korps. Kalau ada kasus misalnya, yang dilakukan oleh anggota korps pejabat, biasanya kasusnya dilindungi.[3]
Kasus hukum Soeharto merupakan kasus yang sangat penting untuk dibahas karena ini menyangkut ketegasan dalam penanganan kasus hukum. Ada dugaan dalam kasus ini bahwa hukum lemah bila berhadapan dengan kaum penguasa. Pada zamannya, Soeharto dikenal sebagai orang yang otoriter sehingga tidak jarang masyarakat menyebutnya sebagai orang yang bertangan besi.  Oleh karena itu pada masa kepemimpinan Soeharto “orang-orang” yang ingin mengungkap kasus pelanggaran hukum yang dilakukan Soeharto terkesan tidak berani karena begitu kuatnya kekuasaan Soeharto, jadi tidak jarang banyak kasus aktivis yang hilang keberadaannya karena dianggap sebagai pihak yang mengancam stabilitas nasional masa orde baru.
Saat ini kelompok kami memiliki kesempatan dalam membahas dan menganalisis perjalanan pemerintahan orde baru Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun berdasarkan data yang kelompok kami dapatkan, dan dengan perspektif sosiologi hukum yang kami gunakan dari mazhab formalistis Analytical Jurisprudence yang dikembangkan oleh John Austin. Menurut perspektif ini hukum dibuat dan diperintahkan dari pemerintah sebagai penguasa tertinggi suatu Negara, dan hukum dipisahkan dari segi keadilan. Dapat diartikan bahwa hukum yang dibuat oleh penguasa orde baru sangat jauh dari segi keadilan, proses hukum tidak melihat nilai baik atau buruknya, namun dipengaruhi oleh penguasa yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, memunculkan pertanyaan yang perlu untuk dijawab melalui sebuah penelitian dan menjadi suatu rumusan permasalahan yang dikaji dari perspektif sosiologi hukum.  Rumusan permasalahan tema kasus pemerintahan orde baru Soeharto memunculkan beberapa pertanyaan besar yang mewakili penjelasan tulisan ini.
1.Apakah status "Mantan Presiden" membuat Soeharto mendapat keistimewaan dalam penanganan kasus hukum-nya?
2. Apakah kekuatan hukum cenderung melemah bila berhadapan dengan pihak "eksekutif" atau mantan orang pemerintahan (pemegang kedaulatan tertinggi)?

PEMBAHASAN
Untuk menjawab pertanyaan yang ada dibagian rumusan masalah, diperlukan beberapa data tentang masa pemerintahan Soeharto sejak awal, pertengahan dan akhir pemerintahannya. Kekayaaan data akan mampu menjelaskan kasus dengan dilihat dari berbagai sudut pandangan. Pada bagian ini kami akan membahas status sebagai mantan penguasa tertinggi Negara yang diduga mendapat keistimewaan perlakuan ketika menghadapi proses hukum, dan selanjutnya berpengaruh pada kekuatan hukum yang melemah ketika berhadapan dengan orang mantan penguasa. Bagian pembahasan ini akan dibagi kedalam beberapa pembabakan, Pertama, deskripsi sekilas perjalanan kasus Soeharto. Kedua, kekuatan sosial Soeharto yang mempengaruhi kekuatan hukum. Ketiga, penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Keempat, Analisis kasus dengan perspektif sosiologi hukum. Pembabakan tersebut kedalam beberapa bagian akan menjawab pertanyaan utama di rumusan masalah sebelumnya.
Sekilas Perjalanan Kasus Hukum Soeharto
Kasus hukum Soeharto yang berhenti mengindikasikan adanya keistimewaan yang diberikan aparat hukum kepadanya, ditambah pula dengan berbagai kekuatan besar yang dimiliki oleh Soeharto pada saat itu yang membuat hukum semakin lemah. Keistimewaan tersebut dapat dilihat dari perlakuan yang diberikan oleh aparat hukum kepada mantan penguasa di orde baru tersebut, dalam perjalanan kasusnya Soeharto sering berdalih sedang sakit baik itu saat ingin diperiksa ataupun saat hendak disidangkan. Pernyataan dokter pribadi Soeharto menjadi modal untuk dapat dipercaya oleh aparat hukum saat itu. Keistimewaan atas dasar mantan presiden menandakan bahwa hukum masih berpihak kepada masyarakat kelas atas, kontras berbeda perlakuannya dengan masyarakat biasa apabila terjerat suatu kasus hukum.
Tidak adanya ketegasaan hukum untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada aparat hukum dan pemerintah. Pada 13Mei-15Mei 1998 banyak kerusuhan terjadi, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia, dan saat itu berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia yang merosot tajam. Sehingga  memicu banyak kerusuhan dan demonstrasi, kala itu terjadi tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Kerusuhan-kerusuhan ini membuat kondisi semakin memanas dan akhirnya mahasiswa memaksa Soeharto untuk turun dari jabatannya dan segera melimpahkan kekuasaannya kepada wakil Presiden saat itu. Pada tanggal 21 mei 1998 Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada B. J Habibie.
Setelah lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, maka reformasi mulai digaungkan suaranya oleh mahasiswa. Semenjak pergantian rezim orde baru itu menjadi era reformasi, masyarakat mulai berani dalam menyuarakan suara aspirasinya yang sebelumnya selama 32 tahun masyarakat Indonesia tidak kuasa dalam melawan bungkaman Pemerintahan Orde Baru. Sejak saat itu, masyarakat mulai ada yang berani untuk menyatakan pendapatnya tentang pemerintahan Soeharto, dan mulai ada tuntutan untuk menguak kasus pelanggaran hukum yang dilakukan Soeharto. Keberadaan insan pers juga sudah mulai diperhitungkan oleh tiap elemen masyarakat, baik itu dari pemerintah dan masyarakat sendiri. Pers sudah berani angkat bicara menyoal  kasus penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum Soeharto. Oleh karena itu lahirlah harapan dari banyak masyarakat untuk segera menuntaskan kasus hukum terhadap mantan presiden Soeharto, harapan yang selama itu terpendam karena kediktatoran penguasa di masa pemerintahan Soeharto. Dan terbuka kesempatan untuk mewujudkan harapan tersebut dengan usaha pemerintah untuk penyelesaian kasus Soeharto pasca lengser dirinya sebagai RI 1 saat itu.
Kekuatan Sosial Soeharto Mempengaruhi Kekuatan Hukum
Manusia merupakan sebagai subyek dan obyek dari kekuasaan, dalam kasus ini kami melihat bahwa soeharto sebagai presiden dapat dikatakan sebagai subyek dari kekuasaan karena ia pada saat itu memliki kekuasaan untuk membuat undang-undang, namun seharusnya pula, ia juga berada dalam posisi sebagai obyek dari kekuasaan sehingga ia harus tunduk dan taat terhadap undang-undang yang ada. Robert M Maclver menyatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah maupun dengan cara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.[4] Kekuasaan tidak terlepas dari adanya peran yang disebut pengaruh. Seseorang yang memiliki kekuasaan juga memiliki pengaruh di dalam dan di luar bidang kekuasaannya.
Di dalam setiap masyarakat  terdapat kekuatan-kekuatan sosial yang berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuannya. Tujuan yang dimaksud bisa berupa hal yang baik dan tidak baik untuk kehidupan masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatikan apakah kekuatan-kekuatan sosial yang dimiliki oleh Soeharto dapat melemahkan fungsi hukum yang seharusnya, selain itu juga harus dilihat dampak dari kekuatan-kekuatan sosial yang dimiliki Soeharto akan merugikan negara dan masyarakat. Berikut ini kami akan membahas mengenai kekuatan-kekuatan sosial yang dimiliki Soehato sehingga mengakibatkan penanganan kasus yang dihadapinya berjalan ditempat, serta kepastian hukumnya pun dipertanyakan.
Kekuatan Uang
Kita tidak perlu meragukan lagi dengan jumlah harta kekayaan yang dimiliki oleh Soeharto dari hasil Korupsi yang ia lakukan selama menjabat sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun. Pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi white collar crime, konsep klasifikasi ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi atau jabatan pada corporate, sedangkan korupsi dilakukan oleh orang-orang yang berkenaan dengan jabatan atau corporate tersebut. Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, berikut ini adalah daftar tujuh yayasan Soeharto yang membawanya kedalam kasus dugaan korupsi. Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri/YDSM, Yayasan Trikora, Yayasan Dharmais, Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (ABMP), Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDGRK). Ketujuh yayasan tersebut menyangkut beberapa aspek kehidupan masyarakat, yakni dibidang pendidikan, kesehatan, sosial, politik, agama.  Dengan harta yang dimilikinya maka dapat dikatakan bahwa ia mampu “membeli” apapun yang ia kehendaki termaksud dalam kasus hukumnya. Dengan kekuatan uang yang ia miliki maka tidak diragukan lagi kasus hukum yang menimpanya yang dilihat masyarakat “campur tangan uang” sangat berperan yang mengakibatkat kasus tersebut tidak tuntas hingga Soeharto meninggal dunia. Sehingga tidak jarang bahwa terkadang ada pendapat bahwa hukum akan kalah dengan uang.
Kekuatan Politik
Politik merupakan salah satu bidang yang dapat dikatakan sebagai permainan dari kekuasaan yang berkuasa, adanya proses untuk mempengaruhi dari suatu pihak kepada pihak lain. Dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki, Soeharto pada saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dapat terlihat bagaimananya untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki salah satunya dengan menggunakan perlindungan dari undang-undang yang sebagai produk hukum yang dapat menguntungkannya. Hukum dibentuk sesuai dengan hasil proses politik yang berada dalam masyarakat. Apabila hukum sudah terbentuk dalam wujud undang-undang maupun produk hukum lainnya maka setiap orang yang berada dalam wilayah indonesia wajib mentaati dan serta tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, tidak terkecuali Soeharto dan kroni-kroninya yang pada saat itu terlibat dalam pembuatan dan penyusunan hukum tersebut.
Dalam kasus Soeharto tersebut dapat terlihat bahwa para penegak hukum terkesan ragu-ragu dalam menangani dan mengadili Soeharto. Para penegak hukumpun terkadang mendapat tekanan dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam kasus Soeharto ada sinyalir bila ia di proses sesuai dengan aturan hukum atau undang-undang yang berlaku maka akan mengakibatkan wibawa pemerintahan akan menurun karena orang yang diadili adalah mantan penguasa di negeri ini. Status dari mantan presidenpun turut menjadi faktor mengapa kasus hukum Soeharto tidak berjalan dengan baik, selain karena para penegak hukumnya masih merupakan “sisa-sisa” aparat pemerintahan rezim orde baru sehingga menjadikan mereka “tidak enak hati” dalam memproses mantan “bos”nya sendiri.

Kekuatan Massa                                         
Yang dimaksud dalam kekuatan massa adalah orang-orang yang terlibat dalam kasus hukum tindak korupsi Soeharto tidak hanya terdiri dari satu ataupun dua orang saja. Namun dapat dikatakan kejahatan yang dilakukan adalah “kejahatan massal”. Sehingga sulit sekali para penegak hukum untuk memproses semuanya secara hukum, oleh karena itu hanya beberapa orang saja yang dianggap paling bertanggung jawab dalam kasus korupsi yang dilakukan pada zaman orde baru. Kroni-kroni Soeharto yang ikut terlibat dalam kasus Soeharto juga jarang tersentuh oleh Hukum, pengusutan yang ada hanya sekedar formalitas saja, karena pengusutan tersebut akan terhenti dengan sendirinya seiring dengan berbagai cara yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya.
            Pada kenyataannya, kekuasaan atas kekuatan-kekuatan sosial yang dimiliki oleh Soeharto membuktikan bahwa kekuasaan dapat lebih unggul dari yang lainnya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya kasus hukum yang dijalani tidak diproses dengan baik. Oleh karena itu hukum dibuat oleh para penguasa untuk “melindungi” dirinya dari segala macam tuntutan yang akan dihadapinya kelak. Menurut Marx hukum adalah alat untuk penindasan yang dibuat oleh penguasa atau para kaum elite untuk menghegomoni rakyat, hukum juga merupakan epiphenomena yang berarti hukum dibuat karena refleksi kepentingan ekonomi dikalangan penguasa atau kaum elite
            Dapat kita lihat dalam penyelesaian kasus hukum Soeharto sejak awal reformasi hingga saat ini, tidak adanya kepastian hukum yang berkeadilan untuk segenap masyarakat Indonesia yang merasa teraniaya di masa pemerintahannya. Harusnya pengusutan yang berlangsung ditujukan untuk mendapatkan penyelesaian yang berkeadilan, namun tidak terwujud karena kepentingan dari penguasa Soeharto saat itu, kekuasaanya yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan membuat hukum itu menjadi lemah bila bertemu dengan dirinya. Apa yang terjadi di masa orde baru membuat masyarakat Indonesia merasa kecewa terhadap aparatur dan sistem hukum Indonesia, masyarakat merasa lembaga peradilan tidak bisa diandalkan sebagai benteng masyarakat saat menghadapi penindasan, siksaaan, dan penganiayaan. Ditambah lagi masyarakat tidak berdaya dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, karena dipengaruhi oleh materi/uang yang tidak memadai. Berbeda dengan penguasa di orde baru yang memiliki kekuasaan tertinggi, materi memadai sehingga pelaksanaan proses hukum pun dapat dipermainkan.
Pada kenyataannya kekuasaan atas kekuatan-kekuatan sosial yang dimiliki oleh Soeharto membuktikan bahwa kekuasaan dapat lebih unggul dari yang lainnya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya kasus hukum yang dijalani tidak di proses dengan baik. Oleh karena itu hukum dibuat oleh para penguasa untuk “melindungi” dirinya dari segala macam tuntutan yang akan dihadapinya kelak. Menurut Marx hukum adalah alat untuk penindasan yang dibuat oleh penguasa atau para kaum elite untuk menghegomoni rakyat, hukum juga merupakan epiphenomena yang berarti hukum dibuat karena refleksi kepentingan ekonomi dikalangan penguasa atau kaum elite.
Penegakan Hukum yang Tegas dan Berkeadilan
            Kasus hukum Soeharto yang berlarut-larut disebabkan oleh ketidak seriusan aparat hukum dalam menangani kasus tersebut. Pihak Soeharto pun menggunakan berbagai cara untuk mengulur jalannya proses hukum, kekuatan dan modal yang dimiliki Soeharto semakin membuat perjalanan kasus hukumnya terhambat atau bahkan terhenti, padahal penyelesaian masalah Soeharto beserta anak-anak dan para kroninya adalah masalah yang penting,  Karena ada hubungannya yang erat dengan berbagai soal bangsa dan negara kita. Dapat dikatakan, kasus Soeharto merupakan simbol paling kuat dari diskriminasi hukum. Sebab kasusnya dibiarkan mengambang tanpa ada penuntasan.  Sebenarnya upaya pengusutan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto telah dilakukan sejak pemerintahan Presiden Habibie.  Tim  dari Kejaksaan Agung yang waktu itu dipimpin Andi M Ghalib menduga, mantan Presiden Soeharto telah melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan sebesar Rp 1,4 triliun. Tapi 11 Oktober 1999, pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti.[5] Kejagung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Jaksa Agung  pada saat itu menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa upaya pengusutan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto terkesan “jalan ditempat” atau tidak ada kemajuan. Pemerintah terkesan setengah hati menangani kasus ini mengingat Soeharto pernah memimpin Negara indonesia sehingga ia mendapat keistimewaan. Hal tersebut justru mengingkari ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 Pasal 4 yang berbunyi, “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia” dan Tap MPR RI No.I/MPR/2003. Apabila menghapuskan semua perkara pidana dan perdata Soeharto dan rezim totaliter Orde Baru (Orba) berarti Soeharto, keluarga, kroni korupsi, pelanggar HAM berat lainnya bebas tanpa hukuman. Berarti keadilan dan hukum ikut mati bersama Soeharto.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang merumuskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 memberi pesan adanya keinginan kuat bahwa negara menjamin terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai dengan terciptanya suatu keadaan dimana hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta jaminan kepada setiap orang yang berhak mendapatkan akses keadilan (justice for all). Hal ini bahkan merupakan hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Dengan kata lain, negara harus menjamin terselenggaranya praktek dan perlakuan hukum kepada tiap warga Negara sehingga tidak ada yang luput dari akses praktek dan proses hukum yang merupakan amanat konstitusi, Presiden sekalipun dapat dibawa ke meja pengadilan apabila ditemukan praktek pelanggaran hukum.
Kasus Soeharto adalah kasus puncak. Artinya, yang terbesar yang pernah terjadi sejak Indonesia merdeka. Jadi, tidak mengherankan kalau menjadi perhatian serius seluruh rakyat Indonesia, bahkan masyarakat dunia. Apabila penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan terwujud maka tidak dapat dipisahkan dengan usaha perbaikan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan rakyat. Artinya, bila hukum sudah tegak, dengan sendirinya akan membawa pengaruh akan dipatuhinya ketentuan yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan termasuk kehidupan ekonomi.
Perspektif Sosiologi Hukum dan Analisis
            Untuk menjelaskan kasus Soeharto ini kami menggunakan Perspektif sosiologi hukum ‘Formalistis-Analytical Yurisprudence’ yang dikemukakan oleh Jhon Austin. Menurut perspektif ini, hukum adalah perintah dari penguasa yang memiliki kedaulatan, yang dapat dipaksakan.[6] Keadilan dan kondisi masyarakat tidak menjadi prioritas. Menurut Austin, hukum sebagai sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup sehingga dinamakan Analytical Yurisprudence. Hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan menurut nilai baik atau buruk, salah atau benar. Melainkan berdasarkan pada kekuasaan dari penguasa. Saat pemerintahan masa orde baru sangat terlihat dimana hukum dikendalikan oleh pemegang kekuasaan tertinggi Negara yakni Soeharto dan kroni-kroninya, mereka memiliki daya kuasa untuk mengatur jalannya proses hukum. Suatu daya dipengaruhi oleh keberadaan kepemilikan uang dan tahta kekuasaan, sehingga menyebabkan dalam proses hukum di masa itu terjadi transaksi dan tawar menawar antara pihak-pihak yang berkepentingan, yakni pihak yang berwenang akan proses hukum, dan pihak yang ingin lepas dari jeratan hukum.
            Menurut Perspektif ini hukum dibagi 2 menjadi hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.[7] Hukum yang sebenarnya terdiri atas hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya, sesungguhnya hukum yang disusun oleh individu-individu pada dasarnya merupakan pelaksanaan hak-hak yang telah diberikan oleh penguasa. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya bukanlah merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, melainkan disusun oleh perkumpulan atau badan tertentu. Kasus hukum Soeharto termasuk pada hukum yang sebenarnya, karena saat itu hukum dibuat oleh para penguasa dan orang-orang yang sangat dekat dengan penguasa. Sehingga dalam pelaksanaan proses peradilan hukum, seringkali tersendat oleh karena peraturan hukum yang menjadi dasar peradilan disalah gunakan.
            Fokus hukum menurut aliran ini yakni pertama, Sistem Logis : Setiap unsur dari suatu sistem dimaknai sebagai sesuatu yang benar secara logika  dan selanjutnya dijalankan dalam masyarakat. Bersifat tetap: hukum yang ada sifatnya tetap dan tidak bisa berubah, walaupun saat pelaksanaannnya ada kemungkinan perubahan, tapi itupun melalui proses tawar menawar antar penguasa dan pihak aparat hukum yang memiliki kepentingan. Selanjutnya fokusnya tertutup:  hukum yang dijalankan sifatnya tertutup, ditujukan bagi masyarakat yang melanggar hukum. Disini yang menentukan hukum adalah para penguasa, bagi masyarakat biasa tidak dimungkinkan untuk mengatur jalannya hukum. Fokus hukum yang tertutup sangat jelas terlihat ketika kasus Soeharto diusut, banyak intrik dan skenario yang terjadi demi mendapat pengurangan atau pembebasan hukuman. Fokus hukum bersifat tetap dalam pelaksanannya ternyata terjadi perubahan setelah adanya proses tawar menawar antara pihak penguasa di masa orde baru dengan pihak yang berwenang akan hukum.
PENUTUP
Simpulan
            Kasus Soeharto yang diusut dimasa reformasi tidak menunjukkan titik terang dalam penyelesaiannya, yang terjadi justru banyak skenario dalam proses pelaksanaan pengusutan tersebut, sehingga akhirnya kasus tersebut ditutup oleh pemerintah saat Soeharto telah meninggal dunia. Adanya indikasi keistimewaan dalam penanganan kasus Soeharto sehingga hukum terkesan tidak adil dalam pelaksanaan dan penyelesaiannya. Kekuatan hukum cenderung melemah bila berhadapan dengan pihak yang berpengaruh atau mempunyai legitimasi kekuasaan dalam mengatur jalannya hukum. Dapat kita lihat dalam penyelesaian kasus hukum Soeharto sejak awal reformasi hingga saat ini, tidak adanya kepastian hukum yang berkeadilan untuk segenap masyarakat Indonesia yang merasa teraniaya di masa pemerintahannya. Harusnya pengusutan yang berlangsung ditujukan untuk mendapatkan penyelesaian yang berkeadilan, namun tidak terwujud karena kepentingan dari penguasa Soeharto saat itu, kekuasaanya yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan membuat hukum itu menjadi lemah bila bertemu dengan dirinya. Apa yang terjadi di masa orde baru membuat masyarakat Indonesia merasa kecewa terhadap aparatur dan sistem hukum Indonesia, masyarakat merasa lembaga peradilan tidak bisa diandalkan sebagai benteng masyarakat saat menghadapi penindasan, siksaaan, dan penganiayaan. Ditambah lagi masyarakat tidak berdaya dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, karena dipengaruhi oleh materi/uang yang tidak memadai. Berbeda dengan penguasa di orde baru yang memiliki kekuasaan tertinggi, materi memadai sehingga pelaksanaan proses hukum pun dapat dipermainkan. Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hukum dalam upaya mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah yang kongkret dan sistematis, langkah-langkah tersebut adalah: Reformasi Konstitusi, Penegakan hukum yang netral dan konsisten, Reformasi kejaksaan, Pemberantasan tindakan KKN.
            Bila kasus hukum Soeharto dikaji dengan Perspektif Sosiologi Hukum yang dikemukakan oleh John Austin yakni Analytical Jurisprudence, sangat relevan dengan apa yang terjadi ketika kasus Soeharto mantan penguasa negeri ini diproses. Dan ketika Soeharto saat masih sebagai Presiden menghasilkan produk hukum yang digunakan untuk kepentingan kekuasaannya. Sehingga ketika ia terjerat kasus hukum, aparat hukum kesulitan dalam mengusutnya karena terbentur oleh hukum yang telah dibuat oleh dia sebelumnya. Menurut John Austin dalam ajarannya yang dikenal Analytical Jurisprudence, hukum dibuat oleh penguasa, bersifat tertutup, dan hukum tidak mengenal adanya keadilan, begitu juga dengan nilai baik atau buruk tidak ada dalam hukum. Sehingga tidak semua orang dapat menggunakan hukum dengan maksimal, persamaan perlakuan hukum sangat kecil peluangnya. Hukum digunakan hanya untuk kepentingan para penguasa yang sangat memiliki kekuasaan luas.
Pada dasarnya dan sesuai esensinya, hukum bukanlah sesuatu yang dapat diperjualbelikan, dalam penanganannya seharusnya hukum tidak pandang bulu, disertai oleh aparatur hukum yang konsisten dan netral. Penghentian kasus Soeharto yang didasari asas kemanusiaan, melihat kondisi Soeharto yang tidak mungkin diadili secara hukum mengartikan kalau hukum dapat terjadi kemungkinan perubahan baik itu dari segi aturan tertulis dan prakteknya. Kasus pidana KKN Soeharto seharusnya tetap berjalan, walaupun kini Soeharto sudah meninggal dunia tidak seluruhnya dapat menghapuskan pertanggung jawaban hukum. Peradilan sejarah Soeharto telah mencatat kebaikan dan jasanya serta kesalahannya. Dua kesalahan besar akan diingat masyarakat dalam Mahkamah Sejarah antara lain kejahatan HAM dan kejahatan Korupsi, sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Seperti dikemukakan diatas, Soeharto sebagai tersangka kasus tindakan korupsi yang dekat dengan kekuasaan, ia mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sehingga sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah mengherankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi tempat mencari keadilan tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan. Dan Para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah berpegang pada hukum positif yang berlaku agar keadilan dan perlakuan hukum terhadap masyarakat berimbang.




DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, cet. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta :Penerbit Buku Kompas, 2001.

Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Amien Rais Mohammad.Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press, 2008.

Wacana Indonesia: Jurnal Pemikiran Mahasiswa Pascasarjana Se-Indonesia (Agenda Pemerintahan Pasca Pilpres: Nurcahaya Tandang).

http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_dugaan_korupsi_Soeharto diakses pada tanggal 24 Mei 2010, pukul 13.00 WIB.




[1] Mohammad Amien Rais. Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press, 2008, hlm 89
[2] Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, cet. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2003. hlm 57
[3] Wacana Indonesia: Jurnal Pemikiran Mahasiswa Pascasarjana Se-Indonesia (Agenda Pemerintahan Pasca Pilpres: Nurcahaya Tandang)
[4] Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 35.
[5] Baharuddin Lopa. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta :Penerbit Buku Kompas, 2001,hlm 115
[6] Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum.Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm 34
[7] Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar