Selasa, 05 Juli 2011

HAM-Advokasi dan Pembangunan


Keterbatasan Modal Pedagang Kaki Lima di Indonesia
(Studi Kasus : Perkembangan Fenomena PKL Pada Masa Orde Baru dan Reformasi)

Abstrak
Kerapuhan basis ekonomi rakyat terlihat saat bangsa Indonesia memasuki era tinggal landas yang ditandai dengan munculnya krisis ekonomi dan moneter pada awal tahun 1997 sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulai dengan memasuki Era Reformasi. Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk membangun kondisi ekonomi Indonesia karena dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. PKL  merupakan kegiatan usaha yang mampu memberikan pelayanan ekonomi kepada masyarakat luas, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional. Namun pada kenyataannya PKL mengalami permasalahan yang disebabkan keterbatasan modal yang membuat mereka kesulitan untuk bersaing dengan para pemilik modal besar, dan PKL sering mengalami tindakan yang merugikan dari pihak pemerintah daerah, dalam hal ini petugas satpol PP.  Tulisan ini mencoba mendeskripsikan peran PKL dalam pembangunan nasional, serta menjelaskan problematika yang dihadapi PKL dalam dua masa yakni masa orde baru dan reformasi. Keterbatasan modal menjadi faktor utama PKL kesulitan dalam menjalankan usahanya, yang berdampak pada kenyamanan mereka untuk berdagang, dan persaingan dengan pemilik modal besar. Fenomena PKL termasuk pada perjuangan HAM generasi kedua yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya. Perlakuan yang datang dari Pemerintah terhadap para PKL mengalami pelanggaran hak asasi sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup, untuk menjalankan usahanya. Seringkali PKL harus mengalami penggusuran ketika berdagang dan seharusnya PKL diberikan perlindungan dan dicarikan solusi dari pemerintah yang memiliki kewenangan akan hal ini. Dapat dilihat pula  peran dan kebijakan pemerintah dalam dua masa pemerintahan saat menangani masalah keberadaan PKL yang ada dalam masyarakat, penanganan yang cenderung mengabaikan hak asasi PKL dalam membuka lapangan usaha dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Kata Kunci: PKL, Orde Baru, Reformasi, Modal, Hak Asasi, Pembangunan
Latar Belakang Masalah
PKL sebagai usaha di sektor informal memiliki potensi untuk pengembangan pembangunan suatu wilayah, apabila diolah dengan baik maka akan memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, retribusi dari sektor perdagangan ini dapat dijadikan sumber pendapatan asli daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah yang nantinya akan dapat menambah pendapatan daerah. Bila melihat fenomena keberadaan PKL yang menjamur di berbagai wilayah di Indonesia  dan keberadaannya yang dapat dijadikan sebagai salah satu potensi bagi pembangunan daerah harusnya PKL tersebut dikelola dengan maksimal oleh tiap pemerintah daerah, namun yang terjadi justru mempersempit ruang gerak PKL dalam menjalankan usahanya. Untuk diketahui bersama, PKL muncul karena kepemilikan modal mereka yang kecil, dan mengakibatkan mereka harus membuka usaha di tempat-tempat umum. Apabila tindakan yang datang dari pemerintah dengan mempersempit ruang gerak mereka maka kehidupan dari masyarakat menengah kebawah seperti para PKL akan semakin sulit. Perlakuan diskriminatif yang datang kepada para PKL disinyalir oleh tindakan provokatif yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama aparat Satpol PP yang sering menggunakan tindakan anarkis dalam menghadapi para PKL. Penderitaan para PKL semakin berat dengan adanya berbagai pungutan liar dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari PKL, seperti preman di suatu wilayah yang ditempati oleh PKL. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh para PKL ditanggapi dingin oleh mereka, selain  ketiadaan modal, aspirasi keinginan mereka pun belum dapat diakomodasi oleh sesama PKL karena belum adanya asosiasi resmi perkumpulan para PKL, sehingga perjuangan advokasi mereka seringkali kalah dimata hukum ataupun dihadapan aparat pemerintahan.
Pada masa Orde Baru, Sektor informal seperti PKL merupakan sektor yang tersisihkan dalam proses pembangunan. Karena pembangunan pada masa orde baru lebih diprioritaskan kepada pembangunan yang berskala besar dan lebih ke arah pembangunan fisik, seperti pembangunan jalan-jalan nasional di Indonesia, dan pembangunan infrastruktur lainnya. Padahal PKL mempunyai peran yang penting dalam masyarakat, seperti barang-barang yang dijajakan merupakan barang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Selain itu harga yang ditawarkan juga jauh lebih murah dibandingkan harga barang pada suparmarket dan toko-toko. Apalagi pada masa krisis masyarakat cenderung akan lebih berpikir secara praktis, maka masyarakat memilih PKL sebagai alternatif utama. Pada masa pemerintahan orde baru, keberadaan PKL tidak diperhitungkan, cenderung diabaikan keberadaannya sehingga menyuburkan jumlah PKL itu sendiri. dibandingkan dengan kondisi saat ini keberadaan PKL yang jumlahnya besar namun mendapat perlakuan represif dari pemerintah, perlakuan yang mulanya sebagai bentuk perhatian dari pemerintah disalahgunakan dalam mencederai hak individu yang memiliki kebebasan membuka lapangan pekerjaan.
Pada masa reformasi yang sistem pemerintahannya menganut paham demokrasi dan menghormati kebebasan, maka rakyat lebih leluasa dalam mengekspresikan dirinya. Salah satunya adalah bagaimana fenomena PKL dapat terus bertambah jumlah keberadaannya dalam masyarakat. Fenomena itu disebabkan adanya perhatian lebih dari pemerintah saat ini dibandingkan dengan pemerintahan orde baru. Sebagai bentuk perhatian pemerintah adalah adanya berbagai pemberian bantuan modal usaha bagi pedagang kecil. Selain itu juga adanya tempat-tempat khusus yang secara sengaja dibuat sebagai lahan berdagang para PKL. Namun ironisnya adalah besarnya tempat-tempat tersebut tidak sebanding dengan perkembangan PKL yang sangat besar, sehingga PKL yang tidak mendapatkan tempat tersebut beralih kembali ke tempat-tempat umum, wilayah yang fungsinya bukan untuk melakukan usaha dagang digunakan oleh PKL untuk menjajakan barang dagangannya.  Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah menerapkan sistem penggusuran untuk PKL yang berdagang di wilayah yang tidak seharusnya.

Gambaran Pedagang Kaki Lima di Indonesia
Kehidupan masyarakat di aspek ekonomi merupakan faktor pendukung untuk kemajuan suatu wilayah dan masyarakat. Kehidupan tersebut didukung dengan banyaknya jenis pekerjaan masyarakat sebagai bentuk kegiatan perekonomian. Masyarakat pedesaan identik dengan jenis pekerjaan sebagai petani, nelayan, pedagang. Di wilayah kota besar, keberadaan pedagang kaki lima merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil, kehadiran pedagang kaki lima merupakan bagian dari masyarakat perkotaan hingga saat ini. Istilah pedagang kaki lima diperuntukkan bagi penjual atau pedagang non-jasa yang kesehariannya berjualan di pinggiran jalan/di jalanan. Sebenarnya istilah pedagang kaki lima diperuntukkan bagi para hawkers (penjual yang berlokasi tetap/tidak berkeliling, seperti menggunakan gerobak dorong, mobil, atau panggulan) bukan untuk para huckster (pedagang keliling). Namun, sekarang keduanya dikenal dengan sebutan pedagang kaki lima. Kehadirannya membawa dampak yang beraneka ragam, dan masyarakat memaknainya sebagai identitas suatu daerah yang dikatakan maju dalam bidang perekonomian. Contohnya, di Kota Jakarta, jumlah masyarakatnya yang sangat besar memberi daya tarik untuk membuka lapangan dan jenis usaha yang berbeda-beda, berhubung kebutuhan masyarakat Jakarta yang besar maka mendorong banyaknya bermunculan pihak yang berperan sebagai penyedia kebutuhan tersebut, yakni para pedagang. Pemerintah membuat sebutan pedagang kaki lima untuk membedakan dengan pedagang lain yang juga menetap namun bersifat permanen, formal, dan legal. Sedangkan pedagang kaki lima cenderung bersifat ilegal. Terlihat dari setoran wajibnya. Pedagang kaki lima hanya cukup membayar iuran, sedangkan pedagang yang legal wajib membayar pajak. Karena sifat inilah mereka harus sering berhadapan dengan aparat berwenang pada masalah ketertiban umum.       
Pedagang kaki lima termasuk sebagai pihak penyedia kebutuhan masyarakat. Dan usaha pedagang kaki lima sangat membantu dalam mengurangi pengangguran dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewirausahaan yang ditunjukkan PKL sebagai bukti adanya kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan peluang bisnis serta kemampuan mengoptimalkan sumber daya dan mengambil tindakan serta bermotivasi tinggi dalam mengambil resiko dalam rangka kesuksesan bisnisnya.[1] Pedagang kaki lima biasanya menggunakan lahan yang strategis dalam menawarkan jenis dagangannya, seperti di pinggir jalan, di trotoar. Kebanyakan lahan yang digunakan merupakan fasilitas umum, dan akibatnya mereka harus siap setiap saat apabila digusur oleh pihak pemerintah daerah yang berwenang akan hal ini.
Dalam kurun waktu terakhir, fenomena penggusuran terhadap para PKL semakin marak terjadi, alhasil para PKL tersebut tidak bisa berdagang dan harus segera mencari lahan baru untuk berdagang. Penggusuran yang menimpa PKL sering disertai tindakan anarkis dari pihak penggusuran yakni anggota Satpol PP, tindakan tersebut merupakan tindakan emosional yang ditunjukkan oleh anggota Satpol PP saat melakukan penggusuran. Satpol PP merupakan pihak yang digerakkan oleh Pemerintah Daerah dalam menjalankan suatu peraturan daerah, termasuk saat menjalankan Peraturan Daerah dibidang ekonomi dan juga pihak satpol PP merespon keberadaan para pedagang kaki lima di wilayahnya, respon tersebut ditandai dengan adanya penggusuran dan tindakan anarkis kepada PKL. Para PKL tersebut digusur oleh aparat pemerintah, seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi manusia dalam bidang ekonomi sosial dan budaya (ekosob).
PKL ini timbul dari suatu kondisi pembangunan yang tidak merata di Indonesia, pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di seluruh Indonesia berdampak pada banyak masyarakat mengalami kondisi yang tidak baik, dan berujung pada kondisi ekonomi yang sekarat. Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih banyak yang tergolong rendah, dan akhirnya tidak mampu menempati strata ekonomi yang baik. Jenis pekerjaan yang digeluti tidak lepas dari latar belakang yang dijalani sebelumnya, banyak kita melihat para PKL yang berada di kota besar hanya menikmati pendidikan menengah ke bawah. PKL ini muncul akibat dari tidak terjadinya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan berproduksi. Di Indonesia ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur PKL, padahal fenomena pedagang kaki lima sudah merupakan masalah yang pelik dan juga sudah merupakan permasalahan nasional yang harus segera dicarikan solusi penanganannya. Pengaturan mengenai PKL ini hanya terdapat dalam Perda, seperti yang ada di daerah DKI Jakarta. Perda yang ada hanya mengatur tentang pelanggaran untuk berdagang bagi PKL di daerah-daerah yang sudah ditentukan.
Keterbatasan Modal Pedagang Kaki Lima
Kehadiran PKL dianggap oleh pemerintah sebagai faktor yang menyebabkan berbagai persoalan di masyarakat. Seperti dalam hal ketertiban lalu lintas, keamanan, maupun kebersihan disetiap daerah. Hal ini dikarenakan PKL melakukan aktifitasnya di tempat-tempat umum, seperti trotoar, terminal, halte, dan jembatan penyeberangan karena dianggap sebagai tempat yang strategis. Selain itu dengan berjualan di tempat umum dapat terbebas dari biaya-biaya tambahan seperti sewa toko dan pembayaran tagihan listrik. Sedangkan pendapatan yang didapat tidak memungkinkan untuk menutupi biaya-biaya tersebut.
            Dari  permasalahan diatas, dapat diketahui bahwa faktor utama dari keberadaan PKL adalah minimnya modal yang dimiliki serta bagaimana keterbatasan akses untuk menjangkau modal yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan bagaimana mereka memanfaatkan peluang dengan menggunakan modal yang kecil sehingga diharapkan mereka memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dengan terbatasnya modal, maka barang dagangan yang mereka jajakan tergolong kurang bervariasi sehingga pendapatan yang diperoleh pun sedikit. Minimnya modal yang dipunyai PKL disebabkan mereka tidak mampu meminjam pinjaman di bank dikarenakan mereka tidak memiliki barang yang bisa menjadi jaminan. Padahal jika mereka mendapatkan pinjaman dari bank, PKL akan memperoleh modal yang lebih besar sehingga mereka tidak perlu berjualan di tempat umum yang mengganggu khalayak orang banyak. Tetapi kebanyakan modal yang mereka peroleh minim, karena berasal dari pinjaman orang-orang terdekat.
`           Modal atau kapital dalam bidang ekonomi terbagi menjadi tiga yakni, Pertama. Modal finansial yakni berhubungan dengan uang.  Kedua, Modal fisik yakni barang, dan Ketiga, Modal manusia, yang menunjuk pada kemampuan seseorang melalui pendidikan, pelatihan, serta pengalaman.[2] Modal finansial yang dimiliki oleh PKL yang ada di seluruh Indonesia terbilang sangat kecil, sehingga kesempatan mereka untuk mengakses fasilitas usaha perdagangan seperti toko atau swalayan sangat kecil, dan kemampuan daya beli barang dagangannya juga kecil sehingga tidak memiliki banyak variasi jenis barang, jumlah barang dagangan PKL yang terbatas merupakan modal fisik. Kemudian modal manusia dari PKL dapat dilihat dari tingkat pendidikan dari mereka yang rata-rata hanya mengenyam pendidikan tingkat menengah dan dasar, hal inilah yang mengakibatkan mereka menjalani profesi sebagai PKL, pengalaman dan pelatihan yang dimiliki oleh PKL ini juga masih sedikit, kebanyakan dari mereka belajar tentang wirausaha secara otodidak, tidak mendapatkan pelatihan secara formal.
Pedagang Kaki Lima di Masa Pra Reformasi (Orde Baru)
. Kekuasaan pemerintahan orde baru yang cenderung otoriter disebabkan kontrol negara terhadap segala aspek kehidupan yang sangat luas termasuk bidang perekonomian, semakin besar negara diberi kontrol terhadap perekonomian, maka semakin kecil kemungkinan demokrasi untuk berjalan.[3]  Hal tersebut berdampak pada keberadaan PKL yang tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah,  dikarenakan pada masa orde baru pemerintah hanya berpacu dan berorientasi pada pembangunan ekonomi dalam skala makro, bukan memperhatikan usaha kecil. Walaupun dimasa orde baru menggalakkan unit koperasi tetapi tidak menyentuh usaha masyarakat kecil. Persoalannya karena PKL dianggap hanya sebagai usaha masyarakat kecil kelas bawah yang tidak menguntungkan dalam skala prioritas, sehingga pada saat itu pemerintah hanya fokus pada usaha-usaha industri dalam skala nasional saja. Bandingkan dengan masa reformasi dimana PKL diberdayakan oleh pemerintah karena pada masa reformasi sangat memperhatikan usaha kecil, menengah, dan besar. Reformasi menjadikan PKL semakin meningkat jumlahnya hal ini dikarenakan setelah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 yang berakibat banyaknya tingkat pengganguran dimasyarakat.
            Dari segi dampak sosial, PKL dianggap sebagai pekerjaan masyarakat marginal[4]  yang hanya bisa membuat keadaan lingkungan menjadi kotor seperti PKL yang berjualan di trotoar. PKL mendapatkan tanggapan yang sinis dari pemerintah karena bukan salah satu pekerjaan layak yang dilakukan masyarakat, ini merupakan wujud dari tidak adanya perhatian pemerintah terhadap pedagang kaki lima. Karena perubahan sosial ekonomi yang terjadi di Indonesia PKL dilirik menjadi pekerjaan yang sangat menguntungkan oleh masyarakat dimasa reformasi, berimbas pada semakin banyaknya PKL sehingga berakibat persoalan sosial seperti kemacetan dan pengalihan lahan jalan menjadi tempat usaha. Dan memasuki masa pasca reformasi. Pemerintah menanggapi keberadaan PKL dan menggangap serius hal tersebut, penanganan yang datang dari pemerintah kebanyakan dengan  melakukan penggusuran secara paksa terhadap PKL sehingga menyebabkan konflik antara PKL dan pemerintah. Adapun program relokasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap PKL dapat mengurangi tingkat konflik yang terjadi. Terlihat adanya perbedaan keberadaan PKL dalam konteks transformasi masyarakat dan pemerintah, pada era orde baru jumlah PKL menjadi sedikit karena kurangnya perhatian dari pemerintah, sedangkan pada era reformasi jumlah PKL makin banyak dan ada perhatian dari pemerintah namun bentuknya penggusuran paksa yang dilakukan oleh Pemerintah.

Pedagang Kaki Lima di Masa Pasca Reformasi
Pelaksanaan otonomi daerah di masa reformasi  memberikan kesempatan luas bagi pemerintah daerah untuk mengurus daerah dan masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola dan menanggulangi permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahannya tersebut berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Sehingga saat muncul fenomena PKL pemerintah daerah melindungi, memberdayakan, mengendalikan dan membina kepentingan PKL dalam melakukan usaha agar berdaya guna serta dapat meningkatkan kesejahteraannya.  Dan selanjutnya melindungi hak-hak pihak lain dan kepentingan umum yang ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Walaupun telah ditetapkan Peraturan Daerah tentang penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tidak sejalan dengan apa yang diharapkan karena masih saja banyak PKL yang berjualan tidak pada tempatnya yang akhirnya menimbulkan masalah sosial dalam lingkungan serta menyebabkan terganggunya sebuah ketertiban dan ketentraman khalayak umum.
PKL yang termasuk sebagai masyarakat sipil semakin didominasi dan terhimpit posisinya oleh komunitas bisnis pemilik modal besar, maka diperlukan enabling environment atau lingkungan ekonomi yang mendukung secara kontinyu untuk memungkinkan mereka menikmati otonomi di luar pengawasan Negara/pemerintah.[5] Dominasi yang dirasakan oleh PKL menimbulkan ketidaksetaraan ketidakstabilan sosial-ekonomi. Tantangan PKL datang dari berbagai pihak, yakni dari pemilik modal besar,  preman suatu wilayah, dan dari pemerintah. Awalnya sikap pemerintah yang ingin memberi perhatian kepada PKL justru berubah menjadi bentuk kekangan dan tindakan mengandung fisik yang anarkis. Berdasarkan pemaparan diatas dapat kami simpulkan perbandingan PKL pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Berikut tabel perbandingannya:

Perbandingan PKL sebelum dan sesudah reformasi
Orde baru
Reformasi
ü  Tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah
ü  Jumlah PKL sedikit
ü  Tidak mengalami tindakan refresif
ü  Dipandang sebagai masyarakat marginal
ü  Mendapatkan perhatian dari pemerintah
ü  Jumlah PKL semakin banyak
ü  Mengalami tindak refresif ketika penggusuran dan relokasi
ü  Tidak dipandang masyarakat marginal
Sumber: Olahan Data Pribadi

Penggusuran Mengabaikan Hak-hak Pedagang Kaki Lima
Keberadaan PKL ditengah-tengah kehidupan masyarakat tidak bisa dipungkiri sebenarnya memberikan manfaat, karena dapat menyediakan pemenuhan kebutuhan dari masyarakat tersebut. Namun yang salah dari keberadaan PKL itu adalah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya, lahan yang digunakan para PKL biasanya adalah fasilitas umum, seperti trotoar, jembatan penyebarangan, terminal, jalan raya, dan lain-lain, keberadaan mereka mengganggu kenyamanan masyarakat dalam menggunakan fasilitas umum tersebut. Keberadaan PKL di tempat-tempat tersebut merupakan sebuah ekspresi atas keadaan ekonomi yang mereka alami saat ini, dan mewakili kondisi kehidupan masyarakat Indonesia terutama masyarakat kelas bawah. Untuk itu  mereka menunjukkan kepada pemerintah bahwa masih banyak masyarakat yang sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah, termasuk para PKL ini. Dengan berdagang di fasilitas umum maka diharapkan pemerintah dapat melihat keberadaan mereka dan pada akhirnya memperhatikan nasib serta kesejahteraannya. Bentuk protes yang dilakukan  PKL itu sebagai bukti kalau aspirasi dan perjuangan advokasi mereka tidak ada yang mengakomodir secara formal. Apabila ada pihak secara formal yang mampu mengakomodir aspirasi dan kondisi para PKL dimungkinkan akan ada posisi tawar (bargaining power) dari PKL terhadap pemerintah.
Pihak yang berwenang dalam menciptakan dan menjaga ketertiban umum di masyarakat yakni pemerintah, kebanyakan menggunakan tindakan represif dalam menangani PKL yang mengganggu kenyamanan masyarakat dalam menggunakan fasilitas umum. Pemerintah Daerah bersama petugas Satpol PP melakukan penertiban dengan melakukan pembongkaran secara paksa serta selalu saja merusak hak milik para pedagang kaki lima atas barang-barang dagangannya. sehingga seringkali tidak memperhatikan efek yang ditimbulkan pada para PKL. Efek yang ditimbulkan adalah para PKL kehilangan mata pencahariannya, kehilangan hak kepemilikan barang dagangannya. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, dan pasal 37 ayat (1).
            Kenyataan yang dialami oleh PKL bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam undang-undang secara formal. Hak kepemilikan warga negara saat ini dapat direbut atau dihilangkan secara semena-mena, kemudian tidak adanya ganti rugi yang dilakukan pemerintah kepada PKL yang barang dagangannya dirusak dan lapangan usahanya yang ditutup. Tujuan dari penggusuran yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan ketertiban umum tidak memikirkan kondisi yang sangat mendasar dan vital bagi PKL yakni pemenuhan untuk kebutuhan hidup semakin sulit didapatkan, karena lapangan usaha yang telah ditutup, lahan untuk berdagang tidak ada, dan barang dagangan telah dirusak oleh pihak penggusur.
Secara hukum, PKL memang salah karena menggunakan tempat yang bukan hak mereka. Namun kondisi tersebut berdampak pada aspek lainnya, seperti aspek sosial, ekonomi, hak asasi, dan sebagainya.[6] Dalam melakukan penggusuran yang bermodalkan hukum formal, harusnya pemerintah mempertimbangkan aspek-aspek lain tersebut, khususnya aspek sosial dan hak asasi. Di Jakarta contohnya, Gusur menggusur memang seakan-akan menjadi ciri khasnya, hal ini disebabkan karena ketidakmampuan wilayah Jakarta dalam menampung lonjakan penduduk yang kian hari makin padat. Urbanisasi dan kaum urban adalah Suatu konsekuensi dan bagian dari pembangunan. Pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi saling bergantung dan saling memperkuat. Dalam konteks tersebut di atas, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi pada tingkat nasional maupun internasional harus bersifat universal dan dilakukan tanpa terkait dengan syarat-syarat. Masyarakat internasional harus mendukung penguatan dan pemajuan demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi di seluruh dunia.

Kebijakan Pemerintah dan Perlindungan Hukum bagi Pedagang Kaki Lima
Fenomena menjamurnya jumlah PKL telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi kotor dan tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus besikap arif dalam menentukan kebijakan termasuk yang berhubungan dengan PKL.
Implementasi kebijakan pemerintah yaitu harus dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi, yaitu pemerintah berupaya mencari pemecahan masalah PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya PKL pada kios-kios yang disediakan maka PKL telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut Pemkab dapat menarik restribusi dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak PKL, namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi PKL. Ketentuan perlindungan hukum bagi para PKL ini adalah :
·         Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Sedangkan didalam Undang-Undang nomor 37 tahun 1999 mengenai HAM, berbunyi sebagai berikut :
·         Pasal 37 ayat (1) berbunyi “ pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan adanya beberapa ketentuan diatas, pemerintah dalam menyikapi fenomena adanya PKL, harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil. Walaupun didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan PKL untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun pemerintah harus mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki lima. Pemerintah didalam melakukan penertiban harusnya memperhatikan dan menjunjung tinggi hak milik para PKL atas barang dagangannya. Ketika pemerintah melakukan pengrusakan terhadap hak milik para PKL ini, maka ia sudah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana dan juga ketentuan yang terdapat didalam hukum perdata.

Simpulan
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat universal dan terus menerus tanpa ada hentinya, tidak diperkenankan hak asasi manusia dicabut. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan tidak boleh dirampas oleh siapapun. Indonesia termaksud negara yang membentuk peraturan hak asasi manusia untuk menyatakan bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dengan sederajat karena dikaruniai akal, hati nurati, untuk hidup bermasyarakat dengan semangat penuh kekeluargaan.
Pertambahan penduduk kota dengan adanya urbanisasi, migrasi menjadi semakin meningkat pesat, karena itu dapat dikemukakan bahwa kota-kota besar yang jumlah penduduknya sangat tinggi akan bertambah banyak dan kota-kota yang mempunyai jumlah penduduknya kecil akan berubah menjadi kota dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan masyarakat di Indonesia meningkat dengan pesat seiring bertambahnya jumlah PKL. Pengertian PKL yang dimaksudkan di sini adalah pedagang kecil yang berjualan dipinggir jalan raya seperti: taman-taman, trotoar atau emperan toko, pekarangan/rumah penduduk, tanpa izin usaha dari pemerintah. Keadaan ini tentu sangat mengganggu kebersihan atau keindahan pemandangan jalan, disamping itu pedagang kaki lima juga sulit untuk diatur ataupun direlokasikan.
Beberapa permasalahan yang timbul akibat keberadaan PKL yang menempati kawasan yang bukan diperuntukannya. Harus diakui bahwa PKL ini timbul dari adanya ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian serta pendidikan yang tidak merata di Negara ini. Untuk mengakhiri tulisan ini, kami coba mengutip perkataan Bernard Haring “Moralitas dan kemerdekaan kita hanya akan tetap menjadi impian belaka jika tidak melahirkan dampak pada kehidupan sosial-ekonomi dan politik.
Dilain pihak kegiatan pedagang kaki lima tersebut ternyata memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terutama dalam golongan ekonomi lemah. Selain itu, kegiatan sektor informal ini merupakan ciri ekonomi kerakyatan yang bersifat mandiri dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Mempertimbangkan keadaan dan potensi tersebut, selayaknya pola penanganan dan pembinaan kegiatan pedagang kaki lima harus didasarkan pada konsep perilaku dan karakteristik berwawasan lingkungan agar pengaturan yang dilakukan tepat. Sebagian besar pedagang kaki lima dikawasan perkotaan dan sekitarnya adalah bukan penduduk asli (pendatang dari desa atau luar provinsi) dan bukan merupakan pilihan pertama sebagai mata pencahariannya. Dengan adanya proses urbanisasi dan migrasi dengan mengacu kepada permasalahan tersebut akan timbul masalah demografi.
PKL sebagai bagian dari masyarakat juga memiliki hak asasi sebagai manusia, dan harus dilindungi, dihormati keberadaannya. Namun realita yang terjadi dialami PKL justru terjadi pelanggaran hak asasi yang secara kodrati juga melekat dalam diri mereka, keberadaan mereka dalam dua masa yakni masa orde baru (pra reformasi) dan pasca reformasi sama-sama merasakan pelanggaran HAM, dimana dimasa orde baru keberadaan mereka diabaikan, tidak diperhatikan kebutuhan dan peranannya sebagai pelaku atau penggerak kegiatan perekonomian, saat itu para PKL kekurangan modal dalam berusaha dan kebanyakan diantara mereka berhenti profesinya dari PKL. Dan dimasa pasca reformasi, perlakuan pemerintah yang menggusur secara paksa para PKL membuktikan bahwa tidak lagi ada perlindungan, dan penghormatan terhadap diri dan keberadaan PKL, penggusuran yang disertai dengan pengrusakan, kekerasan fisik seringkali harus dialami oleh PKL. Mengakibatkan posisi PKL makin terjepit dalam sendi kehidupan bermasyarakat, padahal kondisi masyarakat yang semakin sulit, pertambahan penduduk yang melonjak, lapangan usaha sedikit, dan keterbatasan keterampilan membuat mereka harus bermain mata dengan para petugas satpol PP, agar mereka tetap dapat berdagang ditempatnya semula.
Dari permasalahan yang timbul akan keberadaan PKL di Indonesia menjadi fokus utama dalam penanganannya. Walaupun PKL hanya merupakan bisnis mayarakat kecil, dan termasuk usaha sektor informal tetapi PKL dapat menurunkan tingkat pengangguran dimasyarakat. Anggapan bahwa PKL bisnis yang kurang menguntungkan akan tetapi PKL dapat menghidupkan masyarakat banyak ditengah-tengah persaingan mendapatkan penghidupan yang layak dari segi ekonomi. Perubahan dan dinamika politik sejak reformasi hingga kini diharapkan dapat membangkitkan harapan dalam penyelesaian masalah PKL, dengan hadirnya UU Hak Asasi Manusia yang mengatur bahwa manusia berhak mengatur, menentukan dan mendapatkan penghidupan yang layak tanpa melihat status sosial dan ekonomi, tidak terkecuali bagi para pedagang kaki lima.

Daftar Pustaka
Kutipan  Robert D.Hisrich dkk. ENTREPRENEURSHIP (kewirausahaan). Diterjemahkan oleh Chriswan Sungkono dan Diana Angelica. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Alijahbana. Sisi Gelap Perkembangan Kota. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo,2005.
Fuller Collins, Elizabeth. Indonesia di Khianati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Lawang, Robert M.Z.Kapital Sosial. Jakarta: Fisip UI Press, 2005.
Mallarangeng, Rizal. Dari Langit Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
Marzuki, Suparman. 2001. Robohnya Keadilan Politik Hukum Ham Era Reformasi. Yogyakarta: Pusham UI Yogyakarta.
Verdiansyah,Chris. Politik Kota dan Hak Warga Kota. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Jurnal Analisis Sosial (Demokratisasi dan Kemiskinan). Bandung: Akatiga, Vol. 7, No. 2 Juni 2002.
http://tipologi-dan-praktek-pelanggaran-hak-asasi-manusia-di-indonesia.html


[1] Dikutip dari Robert D.Hisrich dkk, ENTREPRENEURSHIP (kewirausahaan). Diterjemahkan oleh Chriswan Sungkono dan Diana Angelica. Jakarta.Salemba Empat.2008.hlm 104
[2] Robert M.Z Lawang. Kapital Sosial. Jakarta: Fisip UI Press. 2005, hlm 9
[3] Rizal Mallarangeng. Dari Langit Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta.Kepustaan Populer
Gramedia. 2008,hlm 295
[4] Dr.Ir Alijahbana, MA.. Sisi Gelap Perkembangan Kota. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2005,hlm 150
[5] Rizal Mallarangeng. Dari Langit Kumpulan Esai tentang  Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta.Kepustaan Populer Gramedia. 2008.hlm 188
[6]  Chris Verdiansyah. Politik Kota dan Hak Warga Kota. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2006, hlm 241

Tidak ada komentar:

Posting Komentar