Sabtu, 05 Maret 2011

Makna Simbolik Ekspresi Ibadah dan Audiensi


Agama diciptakan untuk memberikan ketenangan bagi umatnya, setiap agama mewajibkan suatu hukum atau peraturan tertentu sebagai rambu-rambu kehidupannya. Setiap penganut agama meyakini apa yang dilakukannya berusaha untuk menyenangkan Sang Penciptanya. Tidak terkecuali bagi mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, kampus yang multi kultur dan agama. Kalau diruang sosial umum, masyarakat memiliki ruang atau wadah untuk menyalurkan ekspresi  “keberagamaannya” dan di ruang sosial kampus, kampus yang diartikan sebagai ruang ekspresi untuk menjadi pribadi yang intelek, juga menyediakan sarana untuk mengekspresikan keberagamaannya. Terkecuali bagi teman-teman yang beragama Konghucu, sampai saat ini belum ada organisasi kerohanian mahasiswa yang dilegalisasi birokrat kampus.
            Untuk lebih memberikan kejelasan dari maksud penulis menghadirkan tulisan ini, terlebih dahulu memberikan sedikit gambaran tentang penulis. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Sosiologi angkatan 2008, mengaku dan diakui beragama Kristen Protestan. Dan saat ini sebagai Koordinator Organisasi Mahasiswa Kristen tingkat Fakultas. Motivasi menghadirkan tulisan ini untuk menyadarkan setiap pihak yang membacanya bahwa Kebebasan Ekspresi Keberagamaan masih dalam “proses’, khususnya di lingkungan kampus “hijau”. Selanjutnya akan dideskripsikan, faktor apa yang membuat tema pembahasan Ekspresi keberagamaan di kampus patut diperbincangkan. Di satu sisi pembicaraan tentang agama suatu hal yang kurang tabu bagi konsumsi umum untuk diperbincangkan dengan lugas dan tegas karena berpotensi untuk memecah konsentrasi masyarakat kampus, tapi penulis percaya, setiap pihak yang membaca ini adalah orang-orang yang sedang dalam proses pembentukan kedewasaan emosional,spiritual dan ke-intelektualan-nya. Namun disisi lain, kita harus melihat kenyataan bahwa kehadiran agama belum maksimal dalam menjalankan tugas dan perananannya, dan satu hal yang harus digarisbawahi, karya ini tidak menyinggung hal keimanan seseorang. Karena itu tanggung jawab setiap masing-masing pribadi kepada sesuatu yang dipercayanya.
            Kebebasan beragama dapat dikatakan bebas apabila setiap ekspresi semua penganut agama dapat diluapkan melalui simbol-simbol agamanya masing-masing, dan proses luapan tersebut tidak menimbulkan gesekan konflik (damai). Adanya keterlekatan antara agama dan ibadah merupakan terjemahan dari kata ekspresi. Begitu juga dengan mahasiswa Kristen kampus yang diwadahi oleh organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen Universitas Negeri Jakarta.            Setiap ekspresi keberagamaan diartikan sebagai ibadah. Dan makna ibadah diartikan sebagai komunikasi dengan penciptanya, selain itu diartikan juga sebagai relasi sosial dan spiritual dengan sesama manusia. Beberapa bentuk ekspresi keberagamaan mahasiswa Kristen yang ada di kampus tingkat universitas adalah kegiatan ibadah Persekutuan Jemaat. Dapat disederhanakan, Persekutuan berarti perkumpulan, dan Jemaat diartikan sebagai mahasiswa Kristen. Bentuk kegiatan adalah ibadah seperti layaknya ibadah digereja, dimana waktu yang ada digunakan untuk penyembahan kepada Pencipta, berbaur dengan teman-teman, diiringi musik pengiring, menghadirkan firman Tuhan/kotbah/renungan, menghadirkan pembawa firman/pengkotbah/pembawa renungan. Namun yang membedakannya dengan ibadah umum di gereja, ibadah yang dilakukan setiap hari Jumat jam 11.45 WIB, bertempat secara nomaden dan tidak menetap alias berpindah-pindah. Organisasi yang dilegalisasi sekitar tahun 1970-an, telah menjadi moda penggerak bagi mahasiswa Kristen yang dikampus, menggerakkan semangat keberagamaan, semangat peduli sesama dan semangat mencintai/menyembah Tuhan-nya. Namun tidak bisa dipungkiri, kehadiran organisasi ini belum bisa menjangkau seluruh mahasiswa Kristen yang ada di kampus UNJ.
            Menyinggung ruang ekspresi spiritual keberagamaan yang masih terbatasi dengan suatu alasan yakni minimnya ketersediaan gedung sebagai tempat beribadah. Masalah gedung menjadi suatu permasalahan besar dan masalah “tua” tapi ditanggapi dengan dingin oleh pihak-pihak terkait, sebutlah Pihak Rektorat sebagai pemangku kuasa kampus, dan internal PMK sendiri sebagai pihak penyelenggara ibadah. Setiap minggu, setiap bulan, dan terhitung menjadi tahunan. Keleluasaan dalam penggunaan gedung semakin dipersempit arenanya, terutama dua tahun kebelakang ini begitu dirasakan, adanya pembatasan-pembatasan ruang gerak tersebut. PMK merupakan organisasi tingkat universitas, dan secara peraturan kampus, organisasi ini sah, dan legal dalam  melakukan kegiatannya. Namun inilah yang dirasakan organisasi mahasiswa tingkat universitas, harusnya organisasi seperti dan sejenis ini memiliki bapak atau pelindungnya, secara peraturan kampus lagi, Pembantu Rektor III adalah pelindung dari semua organisasi mahasiswa tingkat universitas, secara kasat mata organisasi ini sebagai anak tiri dari bapak kandungnya (artikan sendiri…)
            Dengan dalih untuk menemukan titik terang dari kegelapan masalah, biasanya birokrasi menawarkan “audiensi” sebagai cara untuk melunakkan hati para mahasiswa yang memanas. Namun, selama ini audiensi hanya sebuah kata yakni “tawaran”. Audiensi akan mental bahkan hilang dari opini publik apabila birokrasi kampus tidak memiliki waktu untuk melakukan audiensi bersama mahasiswa. Khususnya bagi Organisasi Kerohanian Kristen kampus, tawaran Audiensi sudah beberapa tahun terakhir digulirkan, tapi tetap saja kata audiensi itu diibaratkan suatu angin, yang kadang terasa dan kadang tidak terasa. Saat tertentu internal PMK sibuk untuk membicarakan audiensi, kesibukan tersebut muncul karena kegerahan merasakan betapa sulitnya untuk ber”ekspresi”. Dan kadang pula, wacana audiensi dalam waktu tertentu, hilang dari peredaran. Dengan alasan menunggu undangan dari Penguasa Kampus. Lagi-lagi wacana audiensi terkubur dengan banyaknya program kerja internal dan kesibukan dari penguasa tersebut.
            Keberadaan ibadah Persekutuan Jemaat sebenarnya sudah begitu eksis di lingkungan kampus, tidak hanya bagi mahasiswa Kristen tapi bagi mahasiswa non Kristen juga. Namun tidak semua pihak mengetahui masalah pelik kebebasan beribadah di kampus. Makna simbolik dibalik keterbatasan gedung dapat diartikan sebagai pembatasan ruang gerak. Mungkin secara fisik kita melihat gedung atau sejenis aula di kampus jumlahnya sedikit, ya memang itu kenyataannya. Penggunaan gedung untuk beribadah di kampus dapat dipastikan tidak lebih dari dua jam, dan penggunaanya pun di jam-jam istirahat dan sholat jum’at. Keberadaan Gedung yang ada, selama ini belum dimaksimalkan untuk penggunanya, padahal penggunaan gedung merupakan pembayaran SPP setiap mahasiswa dalam hal pemakaian fasilitas kampus.
            Perhatian birokrat kampus yang minim terhadap masalah ini mengundang Tanya bagi penulis sendiri. apakah birokrat selama ini membutuhkan perhatian dari mahasiswanya atau redaksi kata yang lain, Apakah mereka “kurang perhatian”? Apakah perhatian tersebut sudah ada melalui jalinan komunikasi? Dalam tatanan keilmuan komunikasi, komunikasi tidak saja diartikan hanya sebuah interaksi dua belah pihak, sebuah teori usang. Yang perlu ditekankan dalam komunikasi adalah adanya suatu yang dibagikan dalam interaksi. Apakah itu melalui komunikasi primer dan sekunder, langsung dan tak langsung, aktif dan pasif. Bila direpresentasikan ke wadah internal PMK sendiri, apakah selama ini internal PMK sudah ada membagikan suatu hal yang berguna bagi birokrasi kampus tersebut, tidak bisa dipungkiri kehadiran Birokrasi kampus hanya sebuah tempat jual-beli (transaksi) tanda tangan. Secara sederhana artinya, bila mendapat tanda tangan birokrasi kampus dan proposal tembus/diterima, ada pencairan uang untuk kegiatan tertentu. Dan apakah selama ini PMK sudah aktif dalam membentuk ruang komunikasi dengan berbagai pihak, terkhusus kepada para birokrasi kampus.
            Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang/symbol sebagai media. Lambing yang digunakan sebagai proses komunikasi adalah adanya pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal (sikap tubuh, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya) yang secara langsung dapat/mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator (penulis) kepada komunikan (pembaca). Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Kehadiran tulisan ini merupakan media dalam komunikasi sekunder, penulis sebagai komunikator dan Birokrasi/internal PMK/pembaca sebagai komunikannya. Kehadiran tulisan yang diharapkan untuk membangkitkan kembali wacana audiensi yang beberapa saat ini terkubur dengan dalih-dalih penguasa yang ber-alibi ria. Sebuah media yang diyakini dapat membentuk opini publik yang bervariasa, dari varian yang muncul diharapkan ada pihak yang tergugah untuk meresponi setiap isi tulisan ini, dan yang paling penting memunculkan kembali wacana audiensi.
            Untuk mewujudkan suatu tuntutan tidak bisa bila kekuatannya kecil dan suaranya tidak penuh. Gerakan sosial yang selama ini diartikan sebagai ekspresi kekecewaan kepada pihak yang mengecewakan bukan tidak mungkin akan hadir di kampus hijau, dispesifikkan lagi ke organisasi mahasiswa Kristen kampus. Bentuk gerakan sosial akan maksimal apabila galangan massa penuh dari setiap pihak. Pentingnya komunikasi dengan setiap pihak, lagi-lagi inilah yang menjadi dasar dalam mengajukan sebuah wacana untuk dikonsumsi publik. Untuk masuk dalam pembahasan gerakan sosial dan opini publik, penulis pun menekankan pembicaraan di luar konteks hal berdoa. Yang barang tentu penulis meyakini pihak internal PMK telah “tekun berdoa” untuk hal kepastian gedung tempat beribadah. Galangan massa dapat diperoleh dari organisasi sejenis, yakni sesama organisasi spiritual kampus. Bukan tidak mungkin teman-teman dari LDK,KAMMI,HMI,KMHB dapat memberikan suatu usulan solusi atau strategi pemecahan masalah. Untuk mewujudkan hal ini sudah pasti harus ada jalinan relasi dan komunikasi dengan mereka. dan internal organisasi ini tidak bosan untuk mendapatkan hak-nya sebagai mahasiswa dan penganut beragama. Trims. Salam Pergerakan!