Kamis, 19 Mei 2011

“Agama dan Budaya”


Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Dalam kehidupan individu maupun masyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari agama atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan.
Salah satu persoalan menarik di tengah arus demokratisasi global adalah hubungan antara agama dengan kebudayaan. Keduanya melambangkan kutub realitas, yaitu Tuhan dan manusia. Jika agama bersumber pada wahyu Tuhan yang difirmankan, sebaliknya kebudayaan bersumber pada eksistensi dan karya ekspresi manusia. Persoalan agama dan kebudayaan akan terus berkembang menjadi perdebatan yang serius, sejalan dengan berkembanganya demokratisasi kehidupan manusia yang bersifat global. Partisipasi setiap individu akan semakin besar dan meluas di dalam perbincangan mengenai agama dan kebudayaan, searah dengan makin membesarnya peluang partisipasi rakyat dalam kehidupan bangsa dan negara seperti di Indonesia.[1] Dan saat ini kelompok kami akan mengupas apa yang menjadi pertanyaan kita selama ini, hubungan Agama dan Kebudayaan dan sebaliknya? Apakah kedua kutub realitas tersebut dapat bersatu atau malah menciptakan kerenggangan dalam masyarakat. Kupasan bahasan ini akan dijelaskan melalui makalah yang telah disajikan untuk kita semua..
Pengertian Agama
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan yakni bahasa Indonesia pada umumnya, agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya tidak kacau. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.Kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda, keduanya berasal dari bahasa latin, religio, dari akar kata religare yang artinya mengikat. Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
            Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah, mengandung berbagai arti, seperti dapat diartikan sebagai kerajaan, pelayanan,kejayaan,kebiasaan,pengabdian. Sedangkan pengertian al-din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditujukan kepada salah satu agama, ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.[2] Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin. Adapun agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga dapat dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur yang lain, seperti kesenian, bahasa,sistem pencaharian, sistem peralatan, dan sistem organisasi sosial.
Pengertian Budaya
            Kata Kebudayaan, berasal dari kata Budaya yang berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” bentuk jamak dari budi yang artinya akal budi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai dan sikap mental.[3] Untuk defenisi kebudayaan adalah segala sesuatu hal yang dimiliki oleh manusia di dalam kehidupannya, yang diperoleh dengan belajar dan menggunakan akalnya. Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam hal teknis semata, karena budaya juga terdapat dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja dan pandangan hidup. pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan. Pendapat dari Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.[4] Dapatlah disimpulkan oleh kita bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam bukunya culture, a critical review of concepts and definitions (1952) mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya. C. Kluckhohn dalam karyanya Universal Categories of Culture, mengatakan ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, kesenian. Salah satu yang akan dideskripsikan adalah Sistem Upacara dan keagamaan. Sistem upacara dan keagaman adalah produk manusia sebagai homo religius. Manusia memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggapan bahwa diatas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Mahabesar yang dapat menghitam putihkan kehidupannya.[5] Oleh karena itu, manusia takut sehingga menyembahNya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Untuk membujuk kekuatan besar tersebut agar mau menuruti kemauan manusia, dilakukan usaha yang diwujudkan dalam sistem religi dan upacara keagamaan
Pengertian budaya menurut Melville Herskovits:
”Is a construct describing the total body of belief, behavior, knoledge, sanctions, values, goals that make up the way of life of a people”[6]
(Budaya adalah sebuah kerangka pikir(construct) yang menjelaskan tentang keyakinan, perilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan, nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandangan hidup (way of life) sekelompok orang. Artinya, budaya dalam perspektif yang cukup luas, mencakup semua aspek kehidupan manusia, yaitu semua yang berkaitan dengan berbagai macam hasil karya manusia mulai dari ilmu pengetahuan, keyakinan,seni, moral, hokum, adapt kebiasaan dan segala bentuk kapabilitas manusia lainnya
Untuk merumuskan konsep kebudayaan dengan suatu defenisi telah banyak diupayakan oleh banyak pihak seperti para ahli. Untuk perumusan konsep Kebudayaan di Indonesia umumnya masyarakat mengenal defenisi yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat yakni hasil cipta rasa dan karsa yang bernilai tinggi dan diciptakan oleh manusia. Konsep ini dapat dikatakan bernilai elitis kebudayaan dan mengarah pada suatu budaya etnis tertentu, dengan penggunaan kata bernilai tinggi, dapat dimaknai kalau budaya di kehidupan masyarakat ada yang bernilai tinggi dan ada yang bernilai rendah. Untuk itu kami juga menggunakan defenisi kebudayaan lain yang dirasa bernilai netral, Kebudayaan adalah segala pikiran dan perilaku manusia yang secara fungsional dan disfungsional ditata dalam masyarakatnya.

Hubungan Agama dan budaya Indonesia
            Setiap hal yang ada di kehidupan manusia, baik itu yang dihasilkan manusia dan dilakukan manusia dapat dikatakan sebagai bentuk dan unsur kebudayaan. Manusia hidup dalam suatu sistem pemaknaan yang sangat kompleks, dapat diartikan juga sebagai kebudayaan. Untuk memahami aktivitas kebudayaan dan salah satu elemen terpenting di dalamnya adalah agama, maka dibutuhkan suatu interpretasi. Dan ketika ingin mengetahui tentang kehidupan manusia dalam masyarakat, kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja, seperti hanya perilakunya. Namun lebih dari itu, yaitu kita harus mempelajari suatu sistem yang lebih luas dari ide, adat-istiadat,symbol dan institusi-institusi dalam masyarakat. Setiap unsur yang terdapat dalam sistem tersebut, merupakan hal yang rill dan permanen. Dan bentuk konkrit sistem simbolis itu disadari sepenuhnya oleh segenap lapisan masyarakat yang memiliki symbol-simbol, timbul pula ide tentang sebuah kebudayaan sebagai sistem symbol dan kondisi yang objektif. Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang ada di daerah Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda, bentuk pengungkapan tersebut lewat bahasa, symbol dan kebiasaan masyarakat setempat. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuat dengan yang tidak.
Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailand dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama, budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya. Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluralisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai manusia beragama (penganut) merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi setiap agama yang ada.
            Bangsa Indonesia, berdasarkan ideologi Pancasila mengakui enam agama, yang terakhir diakui dan mendapat legalitas,yakni agama Konghucu. Selain kehadiran agama, di Indonesia juga terdapat lebih dari 500 suku bangsa, maka suatu fakta adalah bahwa di Negara ini sekurang-kurangnya ada sekian banyak kepercayaan pula yang tak dapat diabaikan begitu saja.[7] Di dalam semua agama di Indonesia tentu ada sebagian yang tidak mengikuti dengan tepat ajaran yang resmi. Tidak bisa dipungkiri di dalam agama-pun terdapat ajaran-ajaran yang berbeda-beda dipahami oleh penganutnya, sehingga terjadi beberapa perbedaan.
Dalam disertasi ahli Antropologi H.Daeng mengungkapkan bahwa dalam agama Katolik Roma ada bagian yang disebut Religi, sebagian besar pemeluk Agama Islam di Jawa pun tidak sepenuhnya menjalankan agamanya sesuai dengan syariat agama Islam. Mereka secara umum dinamakan orang Islam Abangan atau penganut agama Jawi, sementara para pemeluk agama Islam yang secara taat mengikuti segala ajaran yang berasal dari Al-Qur’an dan hadis, mereka disebut sebagai orang Islam Santri.[8] Terjadinya perbedaan-perbedaan ajaran yang dipahami dan dianut oleh sesama penganut beragama dalam setiap agama, hal ini tidak lepas dari pengaruh kebudayaan yang hidup dan berkembang di suatu masyarakat. Satu contoh lagi, di Kabupaten Samosir tepatnya Pulau Samosir, Sumatera Utara, mayoritas masyarakat disana menganut agama Kristen Protestan dan Katolik, namun sampai saat ini ajaran kepercayaan yang melekat dengan kebudayaan asli masih ada hingga kini, kebudayaan batak yang masih kental di daerah sana mengakibatkan ajaran kepercayaan Batak-pun masih ada. Ajaran yang menganggap nenek moyang orang Batak Sisingamangaraja sebagai Tuhan mereka. dan Ajaran ini dikenal oleh mayoritas masyarakat Batak dan Beragama Kristen sebagai Agama Batak (Parmalim). Bergeser ke daerah tetangganya yakni Sumatera Barat. Filosofi hidup yang berkembang di mayoritas masyarakat Minangkabau sebagai penduduk asli Propinsi Sumatera Barat adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, artinya, Adat berdasarkan Syariah dan Syariah berdasarkan Kitab (Hadis/Al-Qur’an), ada karakter tersendiri yang dapat dipahami dari falsafah orang Minang, memang bukan berarti kalau masyarakat Minang memiliki Agama Budaya/adat tersendiri, namun adanya hubungan yang erat antara kebudayaan dan Agama. Kedua hal ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Minang, karena sudah menjadi falsafah hidup mereka. tapi tidak dapat dipungkiri, seiring semakin terjadinya Jaman globalisasi, ada suatu fenomena kalau kebudayaan daerah semakin luntur dan tertinggalkan, oleh karena kebudayaan luar yang masuk ke daerah tersebut. dapat dilihat dari unsur-unsur umum dari kebudayaan, seperti perubahan sistem mata pencaharian tradisional yang semakin redup, sistem teknologi tradisional semakin sedikit penggunaannya, namun ada satu catatan penting yang harus diingat adalah sistem kekerabatan masyarakat Minang yakni Sistem Matrilineal, Sistem perkawinan,prinsip keturunan masih dianut oleh mereka.
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Budha, Islam dan Kristen.[9]
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur. Lapisan kedua adalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Lapisan ketiga adaalah agama Budha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan. Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa. Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras. Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenara dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau. Kenyataan adanya legalitas/pengakuan tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.
Agama Hindu merupakan agama yang diyakini oleh masyarakat Hindu, yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Weda merupakan kitab suci agama Hindu yang diwahyukan melalui pendengaran rohani para Maha Rsi. Oleh karena itu Weda juga disebut dengan kitab suci SRUTI. Umat Hindu yakin dan percaya bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena Cinta Kasih Beliau. Cinta Kasih Tuhan untuk menciptakan sekalian makhluk sering juga disebut dengan Yadnya. Dalam kitab Yajur Weda XXIII,62 disebutkan: “Ayam yajno Bhuvanasya” yang artinya Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta. [10]Penciptaan adalah karya spiritual dari Yang Maha Esa dan sebagai kridanya memperlihatkan kemulianNya. Weda sebagai kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu. Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu sendiri. Weda mengalir dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab suci Weda lah mengalir nilai-nilai keyakinan itu pada kitab-kitab seperti; Smerti, Itihasa, Puruna, kitab Agama, Tantra, Darsana, dan Tattwa-tattwa yang diwarisi oleh umat Hindu sampai saat ini.[11]
Dalam kenyataan hidup bermasyarakat maka antara adat/budaya dan agama sering kelihatan kabur dan bahkan sering tidak dimengerti dengan baik. Tidak jarang suatu adat-budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dianggap merupakan suatu kegiatan keagamaan, ataupun sebaliknya, suatu kegiatan keagamaan dianggap adalah kegiatan budaya.
Sesungguhnya antara budaya dan agama terdapat segi-segi persamaannya tetapi lebih banyak segi-segi perbedaannya. Segi persamaannya dapat dilihat dalam hal bahwa kedua norma tersebut sama-sama mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat agar tercipta suasana ketentraman dan kedamaian. Tetapi disamping adanya segi persamaan, terdapat juga segi-segi perbedaan. Segi perbedaan itu akan tampak jika dilihat dari segi berlakunya, dimana perwujudan adat-budaya tergantung pada tempat, waktu, serta keadaan sedangkan agama bersifat universal. Kalau diperhatikan, maka agama dengan ajarannya itu mengatur rohani manusia agar tercapai kesempurnaan hidup. Sedangkan adat budaya lebih tampak pengaturannya dalam bentuk perbuatan lahiriah yaitu mengatur bagaiman sebaiknya manusia itu bersikap, bertindak atau bertingkah laku dalam hubungannya dengan manusia lainnya serta lingkungannya, agar tercipta suatu suasana yang rukun damai dan sejahtera. Dalam agama Hindu, antara agama dan adat-budaya terjalin hubungan yang selaras/erat antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Karenanya tidak jarang dalam pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan daerah setempat. Penyesuaian ini dapat dibenarkan dan dapat memperkuat budaya setempat, sehingga menjadikan kesesuaian “adat-agama” ataupun ’budaya-agama’, artinya penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan budaya setempat. Demikianlah terdapat didalam agama Hindu, perbedaan pelaksanaan agama Hindu pada suatu daerah tertentu terlihat berbeda dengan daerah yang lainnya. Perbedaan itu bukanlah berarti agamanya yang berbeda. Agama Hindu di India adalah sama dengan agama Hindu yang ada di Indonesia, namun kuliynya yang akan tampak berbeda.
Kesimpulan
Agama, Budaya dan Masyarakat jelas tidak akan berdiri sendiri, ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat dalam melakukan ekspresi dialektikanya, selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan. Proses Dialektika Agama terbagi menjadi tiga tahapan. Pertama, energi eksternalisasi yang dimiliki individu dalam bermasyarakat kemudian membentuk sebuah bentuk. Kedua, Objektivitas atas kreasi manusia dan akhirnya berputar kembali dalam bentuk Ketiga, dengan arus informasi yang menginternalisasi kedalam individu-individu. Dalam dialektika ini, bukan berarti stagnan. Hasil eksternalisasi yang ter-Objektivikasi selalu mengalami perkembangan, manusia tidak pernah puas atas hasil yang telah dicapai. Dalam pandangan yang Idealis atu perspektif, manusia memiliki pengandaian yang normatif yang selalu tidak berhenti dengan satu ciptaan. Ke-tidak terjebakan manusia dalam imanensi dan selalu berhadapan dengan keabsurdan membuat manusia dan Agama yang juga berada dalam dialektika ini akhirnya bersifat dinamis. Begitu juga budaya, proses dialektika yang dialami bersama Agama tidaklah jauh berbeda bahkan sama. Tiga bentuk; Eksternalisasi, Objektivikasi dan Internalisasi juga merupakan proses bagaimana budaya terbentuk dan bagaimana ia berhubungan dengan Agama.
Dari uraian diatas dapat pula ditarik kesimpulan lain bahwa Agama merupakan suatu keyakinan akan keberadaan Tuhan yang menjadikan sumber ketentraman dan semangat hidup serta kepadaNya jugalah manusia akan kembali. Salah satu syarat dalam kehidupan manusia yang teramat penting adalah keyakinan, yang oleh sebagian orang dianggap menjelma sebagai agama. Agama ini bertujuan untuk mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan jasmani. Dan untuk mencapai kedamaian ini harus diikuti dengan syarat percaya dengan adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan dan memelihara semua yang ada di dunia ini.[12]
Dalam ajaran Hindu, agama dan budaya (adat-istiadat) yang berlaku pada suatu daerah terjalin hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sepanjang prinsip ajaran Hindu itu tidak berobah dan bertentangan, maka budaya agama yang berkembang dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran suci Weda kepada umat manusia.Dalam pandangan Hindu, budaya daerah yang nilainya positif, yang mendukung kearah terciptanya ketentraman dan kedamaian didalam hidup akan dirangkul dan bukan dianggap sebagai suatu ancaman atau musuh yang harus dimusnahkan dan dicurigai. Dengan dimikan agama dan budaya (adat-istiadat) dapat hidup saling berdampingan, saling mengisi seperti apa yang diharapkan dan diprogramkan oleh pemerintah untuk tetap utuh dan bersatunya bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Untuk memahami makna kebudayaan tidak semata-mata berbentuk hal fisik, karena memahami kebudayaan dapat dimaknai lewat berbagai konteks makna, dapat pula dimaknai sebagai suatu symbol,pola hidup, kebiasaan, dan tindakan sosial masyarakat. Dan untuk memahami agama, agama merupakan fakta kultural, terutama untuk wilayah Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan jelas sebagaimana terlihat dalam beberapa kebudayaan daerah di Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk menutup dan memberikan point penutup, kami akan menutupnya dengan Pendapat Geertz, bahwa “Agama adalah satu sistem symbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dari diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah  tatanan umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada akhirnya perasaan dan motivasi itu akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik”.[13]

DAFTAR PUSTAKA
Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,   Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Hadiwijono Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.2005
Hasan Tholhach Muhammad. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press.2000
Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, Bandung:PT Remaja Rosda Karya.2000
Koentjaraningrat.Pengantar Antropologi. Jakarta:PT.Rineka Cipta.2005
Mustopo Habib.Ilmu Budaya Dasar. Surabaya:Usaha Nasional.1983
Pals L.Daniel. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta:Ircisod.2001
Ranjabar Jacobus.Perubahan Sosial Dalam Teori Mikro. Bandung:Alfabeta.2008
Sobirin Achmad.Budaya Organisasi.Yogyakarta:UPPM STIM YKPN.2007
Supartono. Ilmu Budaya Dasar.Bogor:Ghalia Indonesia.2004
Tasmara Toto.Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta:Gema Insani.2002





[1] Abdul Munir Mulkhan, Manusia Alquran: Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 175.
[2] Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, Bandung:PT Remaja Rosda Karya.2000.hal.13

[3] Tasmara Toto.Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta:Gema Insani.2002.hal.161
[4] Pals L.Daniel. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta:Ircisod.2001.hal.392
[5] Supartono. Ilmu Budaya Dasar.Bogor:Ghalia Indonesia.2004.
[6] Sobirin Achmad.Budaya Organisasi.Yogyakarta:UPPM STIM YKPN.2007.hal.53

[7] Koentjaraningrat.Pengantar Antropologi. Jakarta:PT.Rineka Cipta.2005.hal.193
[8] Koentjaraningrat.Pengantar Antropologi. Jakarta:PT.Rineka Cipta.2005.hal.194
[9] Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,   Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.hal.77-79

[10] Hadiwijono Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.2005.hal.17

[11] Hadiwijono Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.2005.hal.25

[12] Mustopo Habib.Ilmu Budaya Dasar. Surabaya:Usaha Nasional.1983.hal.59
[13] Pals L.Daniel. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta:Ircisod.2001.hal.386

“Agama dan Budaya”