Rabu, 14 September 2011

Jakarta sebagai Kota Kenikmatan dan Ratapan bagi Kaum Penyedia Kenikmatan


Jika ingin melihat modernnya kehidupan, hanya ada di kota besar. Jika ingin melihat miskinnya kehidupan juga ada di kota besar. Sesuatu yang sangat kontras menjadi pemandangan biasa dalam keseharian hidup masyarakat kota. Salah satu contoh kota yang sangat dikenal oleh masyarakat dalam negeri yakni Jakarta. Kota yang banyak mendapat julukan, julukan yang bermakna positif dan negatif. Julukan yang bernada optimis dan bernada pesimis. Sebagai kota yang dipercaya untuk menjadi pusat pemerintahan dan segala administrasinya. Juga sebagai kota yang mantap dengan pusat perindustrian dan perdagangan. Hal ini mengundang ketertarikan buat masyarakat banyak untuk mendatanginya. Banyak orang yang mengira hidup di Kota besar seperti Jakarta akan hidup tenang, makan kenyang dan tidurpun pulas. Perkiraan yang mengungkapkan bahwa lumbung kekayaan mengais rejeki ada di kota ini. Untuk itulah banyak orang berbondong-bondong datang ke Jakarta. Rela untuk meninggalkan sanak saudara, kerabat dan handai tolan, demi merasakan sebuah peruntungan di kota besar. Bermacam-macam tipe dan karakter manusia bercampur di sebuah tempat yang diyakini memberikan kekayaan harta.
Ledakan jumlah penduduk di kota Jakarta tak terlepas dari pemahaman masyarakat luas yang sudah sangat melekat dengan profil Jakarta yang menggiurkan untuk mendatangkan harta dan kenikmatan. Pemahaman tersebut tersebar melalui media informasi mulut ke mulut, membagikannya ke orang-orang terdekat, berlanjut kepada ajakan untuk ikut atau datang ke Jakarta. Belum melihat Jakarta sesungguhnya, banyak orang yang sudah tertarik untuk mendatanginya, karena informasi yang didengar sangat menggiurkan. Namun apa daya bila melihat kehidupan Jakarta sesungguhnya. Mungkin bagi orang yang tidak tahan dengan kehidupan kota, tidak akan bertahan lama dan lekas untuk meninggalkannya. Kota yang tingkat kejahatan tergolong tinggi, hampir setiap hari, disetiap sudut kota akan mendengar dan melihat peristiwa-peristiwa yang selama ini mungkin hanya dilihat dan didengar secara tidak langsung melalui media informasi televisi dan sebagainya.
Bila selama ini kita sering mendengar banyak TKW yang ditipu oleh masyarakat negara asing karena tidak diberikan pekerjaan seperti yang dijanjikan sebelumnya. Tidak usaha jauh-jauh, Jakarta sebuah kota yang identik dengan apa yang dirasakan banyak TKW. Masyarakat yang datang dari daerah dan pelosok negeri berjubel untuk memenuhi tengah, sudut dan pinggiran Jakarta. Sebelumnya ada pula yang dijanjikan pekerjaan yang layak, dengan gaji wah, fasilitas kenyamanan yang luar biasa. Namun setelah tiba di kota ini, masyarakat daerah terutama para kaum perempuan mayoritas gadis-gadis muda harus merasakan pekerjaan yang berbeda dengan bayangannya selama ini. Membaurkan diri dengan kehidupan malam, membiasakan diri untuk bergaul dengan laki-laki pencari kepuasan, semakin terbiasa dengan hal itu mereka semakin terlibat jauh dalam kehidupan metropol. Pekerjaan yang dijalani bukannya mendatangkan kenikmatan bagi mereka, namun harus menjadi sumber kenikmatan bagi orang lain. Semakin diperparah lagi kondisinya apabila mereka tidak memiliki sanak saudara di Jakarta. Semakin sulit untuk lari dari cengkraman kenikmatan yang bermakna tak sebenarnya. Bila bermain dan menyempatkan waktu untuk bergaul dengan mereka, pasti mereka akan mengungkapkan bahwa mereka sudah terlanjur dalam dunianya itu. Hidup yang keras di kota yang mengharuskan menekuni pekerjaan seperti itu. Pekerjaan yang sering orang menyebutnya sebagai pekerja seks komersial. Sebagai penulis amatiran, mengundang tanya untuk mengkritisi profesi itu. Benarkan sebagai pekerja seks komersial itu sebagai suatu pekerjaan? Apakah seks itu memang sebagai komoditas jual beli saat ini? Semakin hari kita semakin mengijinkan penggunaan kata pekerjaan seks komersial sebagai profesi. Okelah kalau memang harus terpaksa mengijinkannya. Kalau begitu pekerjaan itu harusnya diperhatikan sebagai pekerjaan yang benar pekerjaan. Artinya, pengelolaannya harus lebih diperluas, penyediaan tempat untuk pekerja dan pekerjaan itu juga harus ada. Menjadi sebuah pro kontra atau bahkan akan dihina sebagai ide gila memang apabila wacana untuk itu semakin didengung-dengungkan. Karena akan berhadapan dengan perintah dan hukum setiap agama yang ada dan diakui di negeri ini. Setidaknya wacana untuk memperhatikan pekerjaan dan para pekerjanya lebih baik dibandingkan dengan kehadiran mereka secara liar ditengah kehidupan masyarakat.
Ada sebuah tempat yang dikhususkan untuk menjalankan setiap kegiatannya. Kalau ide gila itu suatu saat nanti akan terwujud akan mengurangi kesibukan dari para petugas satpol PP yang tugasnya selama ini bergaul dengan mereka. Karena mereka tidak lagi disibukkan dengan aksi razia-razia nya dan aksi main kucing-kucingannya. Sehingga pusat perhatian tugas mereka tidak terkonsentrasi untuk aksi-aksi seronok itu. Mungkin bisa didistribusikan untuk membantu penertiban kelancaran lalu lintas Jakarta, menjaga dan menertibkan sarana umum seperti trotoar, halte, jembatan penyeberangan yang selama ini sudah dialihfungsikan menjadi tempat berdagang bagi masyarakat pedagang.